Nantinya,
Kita tak perlu membaca buku yang sama.
Aku memahami cara berpikirmu, bukan dia yang menulis buku di hadapanmu itu.

Nantinya,
Kita tak perlu menikmati jenis masakan yang sama.
Bukankah di dunia ini memang begitu banyak bumbu?

Nantinya,
Kita tak perlu jatuh cinta pada langit yang sama.
Pagi atau senja, sama-sama cantiknya, bukan?

Nantinya,
Kita pun tak perlu jatuh cinta pada Bumi yang sama.
Sebab, baik timur maupun barat, sama-sama dalam kuasa-Nya.

Nantinya,
Kita tak perlu sibuk dengan hobi yang sama.
Kau tahu, bahagia itu memang timbul dengan banyak cara.

Nantinya,
Kita tak perlu menikmati kopi dengan cara yang sama.
Kopimu tawar tanpa gula. Dan Aku, sebaliknya.
Bahkan, tak perlu suka keduanya.
Bisa jadi, kau justru membencinya.
Never mind, Tidak masalah.

Nantinya,
Kita pun tak perlu selalu satu suara.
Ada kalanya suarakulah yang kau tinggikan, meski kecenderunganku pada perasaan, bukan rasionalitas.

Nantinya,
Kita memang harus siap dengan segala pertidaksamaan.
Sebab nantinya, hidup yang kita jalani seperti Aljabar, tidak melulu tentang persamaan.

Nantinya,
Kita memang tak perlu memiliki banyak kesamaan.
Sebab apa jadinya pelangi jika dia berwarna merah semua?

Dan nantinya,
Kita hanya butuhkan ini yang sama.
Ini, yang mereka sebut cinta.
Cinta kita (should be) adalah cinta karena-Nya.

Kita... 
Kita masih satu frekuensi, kan?
Sefrekuensi menuju Surga-Nya
Jika frekuensi kita tak senada,
mungkin ini saatnya berbenah.

Agar untuk soal ini, kita sama.

Bilik Kamar Khadijah Al-Kubra
Malang, 29 Maret 2015

With Love, 
Farinda. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANTARA CINTA, SAHABAT, dan KAMUFLASE KEHIDUPAN...

at the End of September Harmony

Manusia Millenia