Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2015
Nantinya, Kita tak perlu membaca buku yang sama. Aku memahami cara berpikirmu, bukan dia yang menulis buku di hadapanmu itu. Nantinya, Kita tak perlu menikmati jenis masakan yang sama. Bukankah di dunia ini memang begitu banyak bumbu? Nantinya, Kita tak perlu jatuh cinta pada langit yang sama. Pagi atau senja, sama-sama cantiknya, bukan? Nantinya, Kita pun tak perlu jatuh cinta pada Bumi yang sama. Sebab, baik timur maupun barat, sama-sama dalam kuasa-Nya. Nantinya, Kita tak perlu sibuk dengan hobi yang sama. Kau tahu, bahagia itu memang timbul dengan banyak cara. Nantinya, Kita tak perlu menikmati kopi dengan cara yang sama. Kopimu tawar tanpa gula. Dan Aku, sebaliknya. Bahkan, tak perlu suka keduanya. Bisa jadi, kau justru membencinya. Never mind, Tidak masalah. Nantinya, Kita pun tak perlu selalu satu suara. Ada kalanya suarakulah yang kau tinggikan, meski kecenderunganku pada perasaan, bukan rasionalitas. Nantinya, Kita...

OLEH-OLEH Syeikh Najih Ibrahim. :)

Disarikan dari “Madarijus Salikin” (Jenjang Spiritual), karya Ibnul Qayyim Al-Jauziah, disampaikan oleh seorang cendekiawan muslim terkemuka (Syeikh Najih Ibrahim) di belahan dunia Arab, ditulis dengan bahasa sendiri. Hati.  Hati kita, fitrahnya, berjalan menuju Alloh dan negeri akhirat. Dengan hati, kita menyingkap kebenaran dan kebathilan, membedakan mana nafsu dan mana nurani, menyingkirkan segala duri dan jebakan di sepanjang jalan kehidupan dengan cahaya, vitalitas, kekuatan, kesehatan, dan kesungguhan tekadnya. Hati yang demikian adalah hati yang hidup, hati yang selamat. Dan, Hanya hati yang hidup yang akan mencapai kesempurnaannya, yaitu hati yang mendapatkan ketenangan, kesenangan, dan kebahagiaan. Lalu, Bukankah itu hakikat dari semua yang manusia cari dalam kehidupan, di zaman apapun? Namun, ada LIMA hal yang dapat menghambat hati untuk berfungsi dengan sempurna, bahkan merusaknya. Terlalu Banyak Bergaul. Terlalu banyak bergaul dalam hal kejelekan a...

Bolehkah, Aku Menitipkan Sesuatu Padamu?

Aku ingin menitipkan sesuatu, boleh? Bersama angin yang membiarkannya tersemai subur,  Bersama air yang mengalirkannya jernih, Bersama hujan yang meresapkannya kuat-kuat mencengkeram Bumi, Bersama langit yang menyimpan deru deram harapan penduduk Bumi. Aku ingin menitipkan sesuatu, boleh? Bukan. Bukan aku yang memilih menitipkan ini padamu, Tapi Dia, Sang Maha Mengambil Segala Titipan. Bukan. Bukan aku yang mempercayakan titipan ini padamu, Tapi Dia, Yang Maha Menggenapkan yang ganjil, dengan sebaik-baik cara. Bukan. Bukan hendak bermaksud memberatkan pundakmu tersebab titipan ini, Tapi Dia, hanya ingin tunjukkan bahwa engkau adalah lelaki pilihan yang pantas diserahi titipan ini. Aku, Aku ingin menitipkan sesuatu, boleh? Menitipkan masa depan, Menitipkan duniaku dalam genggamanmu, Menitipkan akhiratku dalam hati jernihmu, Menitipkan separuh hati yang barangkali sempat tak berbentuk, Menitipkan anak-anak-ku, Menitipkan keluarga-ku, Menitipka...
“Kita pasti akan bertemu dengan jodoh kita. Tinggal kita memilih jalan mana yang hendak kita lalui. Engkau Ali, aku jatuh hati padamu sedari dulu. Namun sebelum itu, aku telah mencintai Allah lebih dari apapun. Aku percaya, bahwa apa yang Allah rencanakan untukku adalah yang terbaik. Aku Fatimah, memang jatuh hati padamu, berkali-kali. Namun izinkan aku untuk selalu mengheningkannya. Hingga kelak, biarlah Allah yang menyampaikannya kepada hati yang tepat. Entah engkau, entah siapa." Source :  Fathimah - Ali Perkara hati, urusan cinta, perihal rasa, semuanya. Doa yang dimohonkan diam-diam, perasaan yang berkecamuk terpendam, bahkan mungkin ada tangis sedu sedan yang tertahan, semuanya. Menggaungkan doa dan memantaskan diri mungkin jawaban bijak atas segenap harap dan cemas yang terus berkelindan. Bukan sekedar bertanya, “Siapa? dan Kapan?” Sebab, entah engkau, entah siapa. Siapapun engkau, siapapun dia. Jika surat cinta itu engkau sampaikan langsung pada-Nya, tak per...